October 17, 2009 lalu seharusnya menjadi hari pertama kalinya saya pergi ke Saragamine Mountain (salah satu gunung terdekat dari kampus saya di Ehime Uni, Shikoku) untuk mengambil beberapa sample jamur bersama Professor saya. Tapi sayang, kami harus mengundurkan maksud tersebut hingga satu minggu kedepan lantaran typhoon (atau taifu dalam bahasa jepangnya) kebetulan akan menghampiri Ehime pada tanggal-tanggal tersebut. Sejak pertama kali saya datang ke Ehime tanggal 7 Otober 2009 lalu, taifu memang sering sekali berkunjung ke Jepang. Salah satu efek yang sangat saya ingat waktu itu adalah ketika salah seorang rekan seangkatan saya dari Indonesia harus rela di cancel penerbangannya akibat taifu tersebut. Hingga akhirnya ia tidak bias hadir di pertemuan perdana kelas Japanese culture yang tempo itu dilaksanakan pertama kalinya pada minggu-minggu pertama bulan Oktober. Beruntung saya tiba di Matsuyama pada tanggal sebelum kedatangan taifu tersebut.
Taifu adalah sebuah system tekanan rendah yang besar, biasanya muncul dari arah barat laut Samudera Pasifik disertai dengan angin kencang hingga mencapai kecepatan 200 km/jam, dan mampu menaikkan permukaan laut serta disertai curah hujan yang cukup deras.
Sekitar 30 taifu setiap tahunnya menghampiri Jepang dan muncul dari arah barat laut Samudera Pasifik. Seringnya melintasi Okinawa Prefecture atau menghantam pulau-pulau utama di Jepang khususnya Kyushu dan Shikoku. Tapi tidak jarang juga wilayah seperti Tokyo, Osaka, bahkan Hokkaido terkena imbas taifu.
Taifu datang antara bulan Mei dan Oktober dengan Agustus dan September adalah puncak-puncaknya. Taifu yang datang lebih belakangan cenderung lebih besar daripada yang datang lebih awal dalam satu musim tersebut. Di Jepang, taifu yang datang biasanya diberi nomor dan jarang diberikan nama seperti di beberapa negara yang menggunakan nama untuk typhoon yang datang. Misalnya Taifu No. 12 artinya taifu tersebut adalah taifu yang datang dengan urutan ke dua belas pada tahun tersebut.
Di Jepang, titik-titik pergerakan taifu dapat diprediksi dengan sangat akurat. Media Jepang sering memberitakan pergerakan taifu ini bila kedangannya tiba. Misalnya tadi malam diberitakan bahwa Taifu No. 27 dan 28 akan datang berbarengan sekaligus menuju Jepang. Pergerakannya diprediksi akan mencapai Shikoku sekitar tanggal 25 pukul 15.00 hingga tanggal 26 Oktober pukul 15.00. Pemerintah setempat diberbagai wilayah yang dikhawatirkan terkena dampak berat akibat taifun saat ini tengah mengevakuasi warganya. Pasalnya, Taifun no. 26 yang datang pada 16 Oktober 2013 lalu telah menjadi taifu terbesar semenjak 1 decade (10 tahun) terakhir yang mengakibatkan setidaknya 18 orang tewas dan 44 orang lainnya hilang. Hantaman terbesar terjadi di pulau Oshima, sekitar 120 km selatan Tokyo. Mayoritas orang tewas akibat hujan deras yang memicu banjir dan tanah longsor yang menimpa rumah-rumah penduduk sekitar. Karenanya, beberapa tempat yang diperkirakan akan rawan ini sudah mulai dievakuasi sejak kemarin.
Taifu di Jepang, sekali lagi merupakan fenomena alam yang suka atau tidak suka datang setiap tahunnya. Titik masalahnya bukan disana. Tapi pada bagaimana pemerintah Jepang mengantisipasi kedatangan taifu setiap tahunnya. Saya tentu tidak secara detail mengetahui bagaimana mereka mengantisipasi ini dengan berbeagai rencana dan strategi. Tapi paling tidak hal-hal yan bisa tampak dari berbagai aktivitas, dapat dengan mudah dianalisa bahwa itu adalah bagian dari persiapan tersebut. Misalnya, dengan mulai menebangi pohon-pohon atau dahan-dahan yang kelihatan sudah mulai rapuh dan dikhawatirkan akan patah terkena taifu, menormalisasi kembali kekencangan kabel-kabel listrik di jalan-jalan, informasi-informasi media yang gencar memberitakan aspek-aspek taifu, mulai dari kedatangan, kekuatan, antisipasi yang harus dilakukan oleh seseorang bila secara tidak sengaja sedang ada di jalan, menyediakan tempat-tempat penampungan sementara, menyediakan alarm disetiap pinggiran sungai yang akan bunyi tatkala ketinggian sungai mencapai titik tertentu, dan lain-lain.
Jepang memang negeri penuh tantangan (alam). Berbagai ancaman bencana mereka prediksi akan datang di negeri tersebut. Seperti gempa dahsyat yang diprediksi akan juga datang di Shikoku atau wilayah-wilayah Jepang secara umum, atau gempa yang memicu tsunami disekitar Kochi, dan sebagainya. Makanya tidak heran kalau setiap tahun ada sekitar 2-3 kali tercatat latihan penanganan gempa, seperti latihan migrasi menuju tempat penampungan yang aman di lapangan softball campus. Bahkan microphone-microphone dari bagian tata usaha kampus sering kali terdengar hanya untuk melakukan test apakah microphone tersebut berfungsi dengan baik atau tidak untuk sewaktu-waktu digunakan mengarahkan orang-orang ke tempat penampungan.
Demikian pula halnya di apartement-apartement tempat warga. Di tempat tinggal saya contohnya, setiap tahunnya ada minimal satu kali pengecekkan sinyal (alarm) penangkap asap atau panas di dalam apartement. Alarm ini akan terhubung dengan kantor pemadam kebakaran daerah setempat. Sehingga sewaktu-waktu berbunyi karena asap yang menebal atau panas disekitarnya, akan dengan mudah terdeteksi di wilayah mana itu terjadi. Jadi jangan berharap Anda bisa dengan mudah membakar sesuatu di dalam rumah, seperti bermain kembang api. Untuk sekedar masak pun atau mandi dengan shower air panas, blower di dapur atau di kamar mandi harus dinyalakan kalau tidak mau mengundang Pak pemadam kebakaran datang ke apartement Anda.
Rekan saya pernah punya kejadian lucu dan unik untuk diingat. Suatu ketika mereka bermaksud mengadakan bakar sate di apartement (bisa menggunakan kompor listrik dengan pemanggang daging). Tapi karena khawatir alarm akan berbunyi akibat banyaknya asap yang ditimbulkan, maka mereka memindahkan pembakaran di bagian tangga apartement (di luar apartement). Selang beberapa lama, ternyata alarm di apartement tersebut berbunyi cukup keras, dan tak lama kemudian datanglah petugas pemadam kebarakarn tersebut. Tidak ada api yang akan dipadamkan, melainkan mereka hanya memberikan peringatan kepada rekan saya untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya itu. Uniknya lagi, selama alarm tersebut berbunyi, tidak ada satu wargapun yang berkumpul di sekitar apartement tersebut. Entah karena mereka merasa aman, karena sudah ada petugas yang akan menangani hal itu, atau karena memang mereka individualis dan merasa itu bukan lagi urusan mereka.
Anyway, yang saya ingin bagi di tulisan ini adalah bahwa tidak peduli apakah bencana itu akan datang atau tidak, tapi persiapan dan antisipasi harus dibuat. Begitulah negeri Jepang tempat saya tinggal saat ini telah melakukannya dengan sangat baik. Setidaknya, itu kesan saya.
Wallahu a`lam bishowab.
Dede Heri Yuli Yanto,
Matsuyama Shi
October 24, 2013.