Tag
Haram, Hukum asal memilih, Makruh, Memilih, Mubah, Pemilu, Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, Pileg, Pilihan, Pilpres, Sunnah, Wajib
Alasan memilih atau meninggalkan sesuatu bisa beragam tergantung situasi dan kondisi.
Seandainya situasi me”wajib”kan (baca: memaksa) kita untuk memilih, maka:
1) Pada kondisi kedua pilihannya “mubah”, maka boleh memilih salah satunya berdasarkan pertimbangan cita rasa atau ikut-ikutan. Contoh berdasarkan cita rasa misalnya karena lebih suka, lebih enak, lebih nyaman, lebih tentram, lebih cocok, lebih baik, dan sebagainya. Contoh berdasarkan ikut-ikutan misalnya ikut pendapat yang paling banyak/suara terbanyak, ikut yang lebih alim, ikut yang ahli, ikut yang orang tua, suami/isteri, dan sebagainya. Contoh kasus: Anda sedang bersama dengan sembilan rekan Anda dalam perjalanan ke tempat yang jauh dan sudah beberapa hari belum makan. Kalau Anda yang teman Anda tidak makan hari itu maka Anda dan teman Anda akan benar-benar kehilangan tenaga dan dapat berakibat pada kematian. Alhamdulillah tiba-tiba Anda dan kesembilan rekan Anda mendapatkan tawaran makanan yang lezat berupa (nasi uduk + tempe) atau (nasi putih + ayam). Anda dan rekan Anda hanya boleh memilih salah satunya. Pada situasi tersebut, Anda boleh memilih sesuai cita rasa atau ikut-ikutan kawan Anda.
2) Kalau salah satu pilihannya ada yang terkategori “haram”, maka meninggalkan yang haram dan beralih ke pilihan yang lain menjadi “wajib”. Pada kondisi ini, cita rasa ataupun ikut-ikutan tidak boleh dijadikan dasar untuk memilih salah satu dari keduanya. Satu-satunya pertimbangan hanyalah hukum syara’. Sehingga harus meninggalkan pilihan yang haram. Kecuali, Anda tidak tahu kalau diantara keduanya ada yang “haram”. Pada situasi tersebut Anda boleh ikut pendapat orang yang lebih berilmu (mengetahui fakta dan dalil halal-haramnya berdasarkan hukum syara’) dalam memilih salah satunya.
3) Kalau kedua pilihannya ternyata “haram”, maka memilih salah satunya didasarkan pada yang paling sedikit mudhorotnya berdasarkan pertimbangan syara’. Contoh kasus yang memaksa untuk memilih salah satu dari dua keharaman seperti ini unik, sehingga penerapan kaidah tadi hanya berlaku untuk kasus-kasus yang unik juga, bukan untuk generalisir semua situasi. Contoh kasus ini misalnya, jika ada seorang ibu yang sulit melahirkan dan dokter tidak bisa menyelamatkan ibu dan janin secara bersamaan, dan kondisinya mendesak harus ada keputusan yang cepat yaitu: menyelamatkan ibu tapi akan mengakibatkan kematian janin atau menyelamatkan janin tapi akan mengakibatkan kematian ibu. Jika kondisi itu dibiarkan akan mengakibatkan kematian kedua-duanya maka dalam kondisi ini kaidah memilih yang paling sedikit mudhorotnya harus diterapkan. Yaitu dengan cara menyelamatkan ibu meski berakibat pada kematian janin.
Itu kalau situasi memaksa kita harus memilih.
Lain halnya jika kita masih punya kebebasan untuk memilih atau meninggalkan sesuatu. Pada situasi seperti ini maka,
1) Pada kondisi kedua-duanya mubah, selain boleh memilih salah satunya berdasarkan cita rasa atau ikut-ikutan. Meninggalkan keduanya juga diperbolehkan.
2) Jika salah satu pilihannya “haram” maka wajib meninggalkan yang haram dan beralih memilih atau meninggalkan yang lainnya. Kecuali jika pilihan yang lainnya wajib, tentu wajib pula beralih ke pilihan tersebut dan haram meninggalkannya.
Sebaliknya jika 3) Kedua-duanya “haram” dipilih, maka wajib meninggalkan keduanya. Kaidah “memilih yang paling sedikit mudhorot-nya” tidak boleh diterapkan pada situasi ini.
Kesimpulan
Jadi, memilih itu bukan cuma sekedar karena cita rasa apalagi ikut-ikutan. Bukan juga sekedar “memilih yang paling sedikit mudhorot-nya”. Tapi memilih adalah karena tahu situasi dan kondisi. Memilih adalah karena memahami fakta dan hukum. Karena setiap pilihan akan dimintai pertanggungjawaban.
[اَلأَصْلُ فِيْ الأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالْحُكْمِ الشَّرْعِي]
Asal (hukum) dari perbuatan (selalu) terikat dengan hukum syara.
* kalau pilpres tahun 2014 ini masuk yang mana yah?
Wallahu a`lam
Dede Heri Yuli Yanto
Matsuyama Shi, Japan
June 11, 2014.